China "Usir" Kapal Perang AS dari Laut China Selatan

Ketegangan Baru di Laut China Selatan: Armada Militer AS dan China Berpapasan

Laut China Selatan, 4 Agustus 2025 — Ketegangan antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok kembali meningkat setelah insiden berbahaya yang melibatkan armada militer kedua negara di perairan sengketa Laut China Selatan. Laporan dari berbagai sumber militer dan diplomatik menyebutkan bahwa kapal perang Angkatan Laut AS dan China berada dalam jarak yang sangat dekat—kurang dari 500 meter—di dekat Kepulauan Spratly, memicu kekhawatiran akan konfrontasi bersenjata yang tidak diinginkan.

Insiden yang Memicu Kekhawatiran Global

Insiden ini terjadi pada hari Minggu pagi waktu setempat, ketika kapal perusak kelas Arleigh Burke milik Angkatan Laut AS, USS Mustin, tengah melakukan operasi “Freedom of Navigation” (FONOP). Operasi ini dirancang untuk menegaskan hak kebebasan navigasi internasional di wilayah yang diklaim oleh Beijing sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya.

Kementerian Pertahanan China langsung menanggapi dengan mengirimkan kapal fregat Tipe 054A, Yuncheng, yang dilaporkan membuntuti USS Mustin dalam jarak sangat dekat, sembari melakukan manuver agresif. Kedua kapal sempat berkomunikasi melalui radio militer, namun ketegangan meningkat saat pesawat pengintai China juga melakukan flyby di atas kapal AS dengan ketinggian rendah.

Respons Diplomatik dari Kedua Negara

Pentagon menyatakan bahwa operasi FONOP dilakukan sesuai dengan hukum internasional dan menolak klaim berlebihan Beijing atas wilayah perairan tersebut. Dalam pernyataan resminya, juru bicara Departemen Pertahanan AS mengatakan:

“Amerika Serikat akan terus beroperasi di mana pun hukum internasional mengizinkan, termasuk di Laut China Selatan.”

Sebaliknya, Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengecam keras tindakan AS yang dianggap “provokatif dan mengancam stabilitas regional.” China menegaskan bahwa mereka akan mengambil langkah-langkah tegas untuk melindungi kedaulatannya.

Pengaruh terhadap Stabilitas Kawasan dan Global

Insiden ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik antara kedua negara, menyusul kebijakan AS yang memperkuat kerja sama keamanan dengan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik, termasuk Jepang, Filipina, dan Australia. Dalam beberapa bulan terakhir, latihan militer gabungan antara AS dan sekutunya juga semakin intensif.

Beberapa analis menilai bahwa Laut China Selatan telah menjadi titik nyala yang berpotensi memicu konflik berskala besar. Pakar hubungan internasional dari Universitas Harvard, Prof. Elaine Walker, menyatakan:

“Ketika dua kekuatan besar terus beradu pengaruh di wilayah yang sangat strategis ini, satu kesalahan kecil bisa memicu krisis global. Mekanisme komunikasi dan deeskalasi sangat dibutuhkan sekarang.”

Reaksi Negara-Negara ASEAN

Negara-negara Asia Tenggara menyatakan keprihatinan mendalam atas insiden tersebut. Filipina, Vietnam, dan Indonesia menyerukan agar semua pihak menahan diri dan mengedepankan solusi diplomatik. ASEAN juga dilaporkan akan mengadakan pertemuan darurat pekan depan untuk membahas langkah kolektif menjaga stabilitas kawasan.

Kesimpulan

Insiden terbaru ini memperlihatkan betapa gentingnya situasi di Laut China Selatan. Meskipun belum terjadi bentrokan bersenjata, dinamika yang berlangsung mengindikasikan perlunya pendekatan diplomatik yang lebih serius. Dunia kini menanti apakah Washington dan Beijing mampu menurunkan ketegangan atau justru terjebak dalam spiral konflik yang lebih luas.